Rabu, 07 Mei 2014





       Mungkin terdengar seperti cerita-cerita sinetron di televisi, tapi sayangnya, “drama” ini memang benar-benar terjadi pada kehidupan saya. Awalnya ketika saya bertemu dengan gerombolan teman kecil, teman sepermainan ketika masih duduk di bangku SMP dulu. Ternyata, di antara anak lelaki masa lalu yang biasa berlarian bersama di sekolah, ada dia yang bisa mencuri perhatian dan hati saya.
       Salim, begitu ia biasa ia dipanggil. Tampilannya yang selalu terlihat dewasa ditambah kacamata melekat di wajah, membuat sosok lelaki yang ketika masa kecil tidak pernah saya perhatikan tiba-tiba terlihat sangat berkharisma di hadapan saya Gayung bersambut, ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Tidak lama setelah pertemuan kami saat itu, kami pun menjalin hubungan cinta.
      Layaknya orang yang baru pacaran, semua terasa indah. Apapun ingin dilakukan bersama dengan si dia. Membangun mimpi indah di masa depan pun tidak lepas dari bahan pembicaraan kami berdua. Ya, hanya ada aku dan dia di dunia ini. Hanya ada kami. Kegiatan saya sebagai pekerja kantoran dan Salim sebagai pengusaha kecil sama sekali tidak mengganggu hubungan kami.
     
Kami saling dukung dalam hal moril dan meteril. Ketika usaha Salam nyaris bangkrut, saya bersyukur bisa berada di sampingnya dan membantunya kembali bangkit lewat pinjaman dana yang saya berikan. Jangankan hanya uang, demi cinta, apapun saya berikan. Ya, alasan klise perempuan memang, demi cinta. Hingga, saya pun berbuat terlalu jauh dengannya. Kami pun pernah melakukan hubungan suami-istri.